Thursday, July 16, 2009

5setia 2nd Anniversary

170707-170709Saya tidak menyangka ternyata sudah 2 tahun ini saya menulis di Blog ini. Awal mula pembuatan Blog ini hanyalah untuk memenuhi tugas mata pelajaran Teknologi Informatika dan Komunikasi, setelah nilai keluar maka saya mengasingkan Blog ini dari pemikiran saya. Mencoba untuk menjelaskan mengapa saya kembali aktif dengan si "5setia" ini adalah karena perpisahan dengan sahabat-sahabat saya yang memaksa saya untuk membuat hal yang akan mengingatkan saya pada mereka, maka saya merubah URL Blog ini dari entah saya lupa menjadi 5setia.blogspot.com.

Tidak banyak memang postingan yang saya buat namun saya berhasil mengeluarkan pemikiran saya disini, mencoba lebih dewasa sudah saya lakukan dengan Blog ini, dan saya mencoba untuk menulis dengan gaya yang sedikit resmi (-mungkin akan terlihat membosankan-) dengan postingan yang saya harapkan dapat memberi motivasi dan pemahaman hidup pada siapa saja yang membaca. Saya tidak akan merubah gaya menulis saya ini karena saya telah berkomitmen 1 tahun yang lalu untuk menulis artikel-artikel dengan gaya yang lebih resmi. Saya berkomitmen memosting setiap artikel dengan gaya yang lebih resmi dikarenakan saat di tahun 2008 kemarin saya menemukan blog-blog yang saya favoritkan diantaranya blog milik mommy Laurencia Susan, mbak Graticia, blog Bang Bayu Aditya, blog Ryan Ardhi Mergantara yang kerap disapa mbah13, blognya Pratama Adi, blognya mas Wendra Wijaya, blognya mba Winda Candra, blognya mba Lyla, blognya Bunda Rierie, blognya Cena, blognya mba Edaa, blognya bang Daniel Muthe, blognya Mba Elfira Novi, blognya mas Herfiyalis, blognya Roni Pascal,blognya mas Cahpesisiran, blognya mas Fajar Indra, blognya kak Ivana, blognya Ipanks, blognya bang Alief, blognya mas Awan_Clikerz, dan banyak lagi, mereka memosting artikel dengan gaya yang lebih resmi dan saya tertarik untuk mengikuti jejak mereka (dan saya juga mengucapkan terima kasih kepada kalian semua).

Oke, saya tidak berharap agar postingan yang saya beri judul "5setia 2nd Anniversary" ini membuat mata berair-air tapi saya hanya berharap Blog saya akan tetap eksis walaupun sedikit pengunjung. Untuk sahabat-sahabatku yang memberi saya bantal berlambangkan -S- ini adalah Blog kalian Miss u all so much, walaupun tidak ada pengunjung sekalipun, Blog yang saya dedikasikan untuk kalian ini akan tetap saya isi dengan pemikiran saya, karena dengan Blog ini saya akan terus mengingat kalian.

Saya merangkai puisi dari semua kejadian yang saya ingat yang berhubungan dengan kalian dan itu terinspirasi dari judul puisi yang ajenk tulis (-yang masih saya ingat membuat mata saya berair-) saat pelajaran Bahasa Indonesia dan sedikit saya modifikasi (-bahkan berubah total-) 3setia (-namun saya ganti menjadi 5setia-), saya akan mengingat kalian ber-4.

~5setia~

1setia kita bertemu
seyum sapa menghiasi kita
kalian menegurku ketika didepan pintu
aku rindu

2setia kita mengenal
perbincangan akrab mulai terdengar
aku ingat beberapa hal yang membuat kita terlihat sama
aku sedih

3setia kita berteman
tawa dan kebodohan timbul tanpa percuma
kita saling mentertawakan satu sama lain
aku ingat ketika kau menghinaku
aku jengkel

4setia kita bersahabat
tingkah-tingkah konyol tak lagi jadi rahasia
aku masih ingat kebodohan yang kita lakukan
aku tertawa

5setia kita selamanya
mencari cita-cita kita berpisah
aku masih mengingat kalian
aku takkan lupa.


Samarinda, 160709

P.S untuk 5cm/FAJAR (ingat jess ini nama buatanmu*) :
Kalian taukah aku disini merindukan saat kita kumpul malam hari, tertawa, bercerita sampai puas, dan saling menghina?
Kalian tahukah aku disini tidak dapat tertawa lepas tanpa pikiran?
Memang terdengar cengeng dan norak tapi ini lah yang aku rasakan, aku merindukan ketika diriku terhipnotis dengan pembicaraan kita sehingga semua beban pikiran kulupakan. Aku berani seperti ini karena di depan kalian aku pernah menangis. Kalian berarti bagiku walau memang kita banyak perbedaan tapi kalian sangat berarti bagiku
, sangat (kalian keluarga keduaku ^^,)....

Sunday, July 12, 2009

The Fragment of Money Rp.2000,00

The Indonesian bank (BI) officially launched the fragment Rp.2,000 as the payment implement that was legal in Indonesia. The new note the fragment Rp.2,000 this was dominated by the grey colour. The launching of this new money was carried out by the temporary official (Pjs. ) Bank Indonesia Governor, Miranda S. Goeltom, was accompanied by the Deputy Bank Indonesia Governor the field, S. Budi Rochadi, South Kalimantan Governor, Rudy Ariffin, and Central Kalimantan Governor, Agustin Teras Narang of money circulating in Banjarmasin, Kalimantan, yesterday.


“The publication of this new emissions note was the implementation of the policy of the Indonesian Bank in the field of money circulating that is to satisfy the requirement for money rupiah in the community in the nominal number that was enough, the appropriate fragment kind, right on time and in the appropriate condition was published,” explained Miranda.

This new change was illustrated Prince Antasari (the National Hero from Banjarmasin, South Kalimantan) with the picture of the Dayak Dance (-one of culture in Indonesia-) at the back . This money will be current as the legal payment implement from July 10 2009.

BI in his press release to Malang Post explained, the picture election to this money referred to the design of the note beforehand that had the theme the Nasional Hero. This as the form of the appreciation to the heroes and to join in as well as conserve the nation culture. The new note the fragment Rp.2.000 was dominant grey with the savety element took the form of the sign of illustrated water of Prince Antasari with the security thread that was buried in money paper and be inscribed BI2000 repeatedly that would change be red under ultraviolet rays.

This new fragment note also help the requirement for the tuna netra (-the blind person-) by providing the certain code (blind code) nearby right the face part of money that is taking the form of the long cube box that was printed in an intaglio manner. Moreover, like when spending the new note the fragment Rp 100,000 and Rp 20,000 emissions years 2004, as well as Rp 50,000 and Rp 10,000 emissions years 2005, BI also issued Uncut Banknotes Rp 2,000 (special money that was not yet cut off/continued money) as many as 4,700 sheets with their respective continued money kind contained 2 bilyet, 4 bilyet and 50 bilyet. As the collection object, Uncut Banknotes this usual was spent in various countries as the publication of special money. (in March/malangpost)

Wednesday, July 8, 2009

Ya!, Aku Menunggu (PART II)

Pukul 06.30 dan aku bergegas mandi karena tidak sabar menantikan saat-saat yang mungkin paling berharga dihidupku.

"oh nak Hamdani" ucap ibu yang sedang berusaha menyalakan tungku, "oh ya, bapak tidak ada. dia pergi ke salah satu agen trevel untuk mengantar beberapa penumpang ke bandara."

Aku hanya dapat tersenyum dan mengangguk, yah paling tidak bersikap menghormati. Berpikir semalaman menguras tenagaku juga. Dan baiklah mungkin aku harus mandiri dan memang begitu seharusnya, aku disini hanya menumpang.

"kau mau kemana Hamdani" ibu membuatku sedikit terbangun lagi.
"oh, saya ingin mandi, apakah ada orang di kamar mandi sehingga ibu memanggil saya?"
"tunggu biar ibu memasakkan air ini untuk mu"
"oh tidak perlu bu. Lagian kali ini tidak sedingin kemarin kan bu" aku mencoba untuk tidak merepotkan ibu lagi.
"tidak apa, sebaiknya Hamdani duduk dulu disana sampai air ini mendidih" paksa ibu

Tentu aku tidak boleh angkuh wanita itu lebih tua dariku siapapun dan dari mana asalku aku tidak boleh angkuh, sekali lagi aku hanyalah pendatang. Daguku ku topang dengan tangan, kantuk mulai menggerogotiku dan ini membuat aku sedikit menggerutu kepada air yang sama sekali belum mendidih itu. Andai ada dispenser disini.

"ibu biasa melakukan ini" tanyaku untuk menghilangkan rasa kantukku
"ya, selalu....untuk Darmiwan"
"untuk Darmiwan" dahiku mengkerut dan kerutan itu terlihat jelas.

Aku bingung dan sedikit merasa aneh. Bukankah Darmiwan sedang merantau, lalu untuk Darmiwan siapa ibu memasak air. Entahlah nama Darmiwan bukan anak ibu dan bapak saja yang memiliki seperti Hamdani namaku yang sedikit pasaran di lingkungan pekerjaanku sebagai seorang karyawan Bank Swasta.

"Lalu sekarang Darmiwan dimana" mulutku mulai tidak bisa ku kendalikan akibat otakku yang bertanya-tanya.
"ada...dia ada..." ibu menjawab dengan sedikit ketus.
"oh...." aku menutup pembicaraan ini dengan tanpa banyak tanya.

Aku mencoba berjalan kedepan rumah mencari udara yang mungkin bisa membawa segala pertanyaan yang membuatku bingung menjauh. Kini aku terbuai dengan belaian-belaian angin pagi. Mereka memanjakanku dengan oksigen yang dapat kuhirup sebanyak-banyaknya. Namun tak lama berselang suara seorang wanita terdengar dan itu mengusik para angin. Aku pergi ke sumber suara dan terdapat air yang menguap disana.

"sekarang mandilah...sebelum kamu sakit..." ucap ibu sambil berjalan meninggalkanku.

Ibu terlihat aneh, kemarin beliau begitu bijaksana kurasa tapi sekarang entah aku sendiri tidak mengerti. Beberapa guyuran air hangat membuatku lebih merasa segar, membuatku sedikit melupakan keanehan ibu, dan membuat pikiranku lebih tenang.
***
Aku duduk dipinggir ranjang menarik napas sedikit dan memutuskan untuk beranjak mencari angkot. Aku berani karena aku tidak terlalu buta dengan jalanan kini, kemarin aku sudah melewatinya setidaknya aku berpatokan pada air mancur yang besar itu.

"bu,...saya pamit keluar sebentar ya bu" dan aku sedikit membuka tirai kamar ibu dan bapak.
"sudah makan?"
"oohhh.. tidak usah bu, saya buru-buru..biar saya makan diluar saja"
"jangan...kamu harus makan" ibu beranjak dan meletakkan bingkai foto di atas meja riasnya, dia menarik tanganku ke meja makan "makanlah...nanti kamu sakit...ada tempe goreng sambel...kamu pasti suka...makanlah" kata ibu sambil menyendok nasi ke atas piring.
"terima kasih, bu" aku menjawab tanpa penolakan
***
Aku mau muntah, apakah ini namanya mabuk darat. Sekarang pukul 09.06 itu berarti aku menghabiskan 68 menit hanya di atas angkot yang berjalan dengan sangat pelan karena menunggu kendaraan didepannya memberikan rongga. Belum lagi gadis kecil berumur sekitar 5 tahun meronta-ronta pada ibunya karena kepanasan. Telingaku hampir tuli dibuat bisingnya klakson kendaraan lain dan permintaan gadis itu.

"ting...tong...ting..tong" ku tekan bel berkali-kali. Aku merasa malu karena pasti membuatnya sangat menunggu lama.
"maaf" satu kata yang terucap dari mulutku ketika kulit putih itu tampak dari balik pintu.
"tidak apa-apa..begini lah Jakarta...kau pasti terkena macet kan"

Dia dari dulu tidak pernah berubah, selalu menjadi wanita yang sabar. Aku hanya bisa menghela napas sekali.

"Lalu kita mau kemana...aku tidak tahu tempat disini" ajakku sekaligus bertanya
"Lebih baik kau masuk dulu, keringkan bajumu dari keringat itu, tidak perlu terburu-buru" dia menarik tanganku untuk memasuki bagian ruang tamunya. "duduklah...aku akan mengambilkan air untukmu..pasti kau haus"

Rumahnya besar tapi aneh, tidak ada satupun foto terpajang di dinding rumahnya, tidak ada satupun koleksi berbahan kristal yang ku tahu adalah kesukaannya di lemari pajangannya, dan di meja yang sekarang berada tepat di depanku tidak ada vas bunga.

"minumlah....kau masih suka jus jeruk bukan" jarinya yang lentik menyodorkan segelas air berwarna ke hadapanku.
"kau masih ingat?..." tanyaku dengan sedikit tersenyum karena dia masih mengingat kesukaanku. "ini rumah baru mu?" tanyaku
"tidak...aku sudah tinggal disini kurang lebih 1 tahun 5 bulanan lah" jawabnya dengan senyumannya yang khas
"lalu dalam waktu yang cukup lama itu bukankah kau bisa melengkapi koleksimu" ucapku sambil menunjuk lemari pajangannya
"bagaimana kalau kita jalan sekarang aku ada tempat yang menarik" Maya memotong pembicaraan dan berdiri dari tempat duduknya. "ayo... untuk apa hanya melihat begitu saja"
"oh...ayo" jawabku

Kami berjalan keluar rumah bersama, ya sungguh hati saya sangat senang. Saat yang ditunggu akan tiba.
***
Maya berjalan di depan aku mengikutinya dari belakang, di kanan kiriku hanyalah sebuah pepohonan dan ilalang-ilalang. Aku baru tahu kalau di kota Metropolitan ada tempat seperti ini, biasanya yang kulihat di televisi hanya tempat-tempat hiburan atau tempat lain yang tidak berhubungan dengan alam bebas.

"bagaimana bagus bukan" kami berhenti dipuncak bukit.
"bagaimana kau bisa menemukan tempat sebagus ini"
"mungkin insting..." jawabnya singkat dengan sedikit senyuman kebebasan, "suka...."
"oh tentu....kau sering kesini"
"sering?...mungkin bisa dibilang demikian...uhuk..uhuk.."
"kau sakit?" tanyaku kawatir
"aku sakit....hey aku wanita yang kuat...dulu yang paling sering absen masuk sekolah karena sakit itu kan kamu...ha..ha..ha..ha" timpalnya seru
"ah...kenapa kau masih mengingat itu" jawabku sedikit malu sambil menurunkan pantatku menyentuh tanah dibawah dan dia mengikutinya
"aku kangen masa lalu... dan ingin ke sana..."

Kami menghabiskan waktu kami di bawah pohon rindang selama seharian. Aku bahagia saat ini karena bisa bersama gadis yang kutunggu cukup lama. Kami terus berbicara dengan sedikit tawa menghiasi, semua kenangan masa lalu terus ia korek sampai sedalam mungkin. Kadang beberapa ucapannya terasa sedikit aneh, tapi tak mengapa mungkin itu luapan emosinya seperti aku kemarin.

"kau tidak lapar....kita hampir seharian disini" tanyaku sediki kawatir karena dia belum mengeluh masalah makanan
"kau ingin makan?" tanyanya balik..."kau harus menunggu 2 jam lagi sampai pukul 18.00, setelah itu kita akan pindah tempat... kau harus melihat warna awan yang indah ketika matahari turun"
"sunset...??" tanyaku singkat
"sunseet??" jawabnya "bukan...hanya melihat awannya saja..." dia tersenyum

Memang awan sore terkadang begitu indah dan menarik perhatian, dan aku yakin pasti memang menarik karena aku tahu selera wanita yang berada di sampingku ini tidak sembarangan. Aku harus menunggu lagi, menunggu adalah hal yang paling kubenci tapi selalu kulakukan, namun untuk sekarang aku tidak mengeluh karena aku mengunggu bersama wanita paling cantik di hatiku setelah ibuku yang sudah dipanggil lebih awal.
***
"benarkan indah awannya tadi" bibirnya yang merah bergerak lembut. "mas es kelapa 2 ya..seperti biasa" dia memesan untukku juga.
"apakah ini yang sering kau lakukan?, setelah dari bukit kau pergi kesini"
"biasanya pinggir jalan lebih nikmat dari restoran berbintang, iyakan?...dulu kau juga berkata seperti itu" dia tidak menjawab pertanyaan ku tapi balik bertanya"nasi goreng disini enak loh...masih menjadi makanan favoritmu kan?"...."mas nasi gorengnya 2 juga ya" teriaknya.
"sepertinya tidak ada yang kau lupakan dari masa lalu" tanyaku, tapi dia hanya tersenyum sambil menunggu pesanannya datang.

Ku antar dia pulang walau aku sendiri tidak membawa kendaraan. Kami naik angkot dan membuat momen hari ini sempurna karena kami dibuat selalu berdampingan dari awal sampai tiba di depan rumahnya.

"kau kenapa?...kenapa mukamu menjadi tegang" tanyaku kahwatir "apa kau lupa mengunci pintu, tapi sepertinya tidak ada apa-apa dirumahmu"
dia tetap menunjukkan muka tegang dan tidak menjawab "kamu mau kutemani masuk ke rumah...setidaknya untuk memastikan kau baik-baik saja"
"sudah pergilah...!!!, pergi sekarang juga!!!!" dia menjawab dengan nada yang tegas menurutku.
"kenapa?..." tanyaku heran
"kenapa kau harus banyak bertanya sih..!!!...pulang lah kerumah pak satrio-mu itu!!...cepat!!.." jawabnya ketus "cukup untuk hari ini, jangan kau kembali untuk saat ini, aku mohon..." pintanya
"baik....baiklah...aku pulang...sampai jumpa besok...dah" ku akui ucapanku sedikit terbata-bata.

Aku meninggalkannya sendirian di depan pagar rumahnya, namun aku tidak langsung pulang. Aku menunggu dari sebrang jalan dan mengamati rumahnya untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Terlihat pundakya sempat menaik dari belakang dan bisa dikatakan dia menghela napas untuk langkah pertamanya. Ku tatap langkah kakinya sampai berada di depan garasi mobilnya dan dia kembali berhenti. Sekarang aku tersadar kalau jumlah mobilnya kini bertambah 1, aku semakin curiga apa yang terjadi sebenarnya. Kakinya melangkah lagi menuju depan pintu, dan secara otomatis tangannya bergerak memutar gagang pintu, dia masuk dan aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana. Suasana hening kakiku melangkah maju 3 kali tapi ter henti aku teringat permintaannya untuk jangan datang. Aku menarik kakiku kebelakang dan lenyap di kegelapan malam di depan rumahnya.


*bersambung

belum baca PART I silahkan klik sini

Monday, July 6, 2009

Ya! Aku Menunggu

"Selamat Siang bapak.. kita sudah sampai tujuan bapak"...
"mmh...ooh maaf saya sedang melamun tadi"
"Tidak apa bapak, terima kasih telah menggunakan pelayanan kami dan kami harap bapak puas akan pelayanan kami"
***
Aku bahkan tidak menyadari kalau pesawat ini telah sampai di landasan sejak tadi. Ku akui memang sejak awal aku hanya duduk melamun dan bersandar di samping kaca hanya untuk memikirkan apa yang akan terjadi nanti. Ku harap aku dapat mengatakannya dengan lantang saat aku sampai ke rumahnya atau tidak minimal bertemu dia sajalah. Berjalan di antara orang asing membuatku semakin gugup, harus ku akui ini pertama kalinya pemuda asli Kalimantan sepertiku menginjakkan kaki di Kota Metropolitan seperti ini. Kekaguman yang ku rasa akan kebersihan lorong dan Kaca di samping kanan kiri ku tetap tidak menghapus rasa gugup ku untuk bertemu dia. Dan ku harap alamat yang kudapat dari komentarnya untuk sahabatnya di dinding Facebook sahabatnya itu tidak membawa aku dalam ketersesatan.


"Hei!!"
"uupss, maaf nona saya tidak sengaja"

Sial alamat yang kupegang ini membuat mataku tidak bisa memandang ke arah lain selain ke secarik kertas yang ku genggam erat. Ternyata langkah kaki ku telah sampai di jalan luar Bandara.
***
"Bisa saya bantu Pak"
"oh ya.. boleh... bisakah bapak mengantarkan saya ke salah satu penginapan disini"
"Tentu, silahkan...ooh biar saya saja yang mengangkat koper bapak... waduh cukup berat juga ya"

Mata saya tidak lepas dari usaha pria separuh baya itu untuk memasukkan koper saya ke dalam bagasi mobilnya. Saya merasa nyaman saat memasuki mobil kijangnya dan saya harap kenyamanan ini tidak akan cepat menghilang. Perbincangan kecil mulai terjadi, mulai dari pertanyaan tentang asal usul saya, umur saya, dan segala hal yang belum termasuk dalam hal-hal pribadi.

"Kalau bisa yang murah saja ya, Pak"
"oohh.. bisa, kebetulan saya mengetahui penginapan yang murah. Kurang lebih 60 km lagi."

Kegugupan kembali memasuki pikiran saya dan saya harap 60 km ini akan segera tertempuh hanya 1 menit saja, tapi itu adalah suatu hal yang mustahil.

"Selamat Datang di Penginapan Sriwedari.."
"Bisakah saya menginap di sini untuk beberapa malam"
"Maaf Bapak saat ini kamar sedang penuh mungkin bapak bisa datang beberapa hari yang akan datang"

Jawaban yang tidak saya harapkan keluar dari mulut wanita secantik recepcionist itu. Huh!.. aku sudah merasa lelah. Dan lagi-lagi pria separuh baya membuka percakapan, tentu maksudnya baik. Tapi mungkin aku harus mempertimbangkannya dulu, bagaimanapun juga dia adalah orang asing bagiku.

"Bagaimana?"
"mmmhh..."
"Tidak apa, walau rumah saya tidak sebesar rumah-rumah di Pondok Indah tapi layak ditempati untuk beberapa hari kok, sampeyan bisa tinggal di rumah saya kalo sampeyan mau"

Karena hari yang sudah mulai menggelap maka kuputuskan untuk menerima ajakannya menginap di rumahnya untuk beberapa hari, minimal 3 hari sampai aku mendapatkan penginapan. Walau sebaik apapun orang itu tentu aku merasa tidak enak karena dia bukan siapa-siapa ku.
***
Rumahnya memang tidak semenarik rumah para pejabat, namun terkesan mewah ketika aku merasakan sambutan sang ibu rumah yang selalu menebarkan senyum, dan memang harus di akui senyum akan terasa mahal ketika hidupmu dikelilingi kesibukan yang membuat jenuh. Beberapa piring dan gelas serta 4 buah tahu dan nasi secukupnya tersusun rapi di atas meja.

"Ayo makan dulu"
"Tidak terima kasih saya masih kenyang untuk sekarang"
"Itu untuk sekarang, namun untuk nanti apakah masih sekenyang sekarang. Ayo tidak apa-apa. Maaf ibu tidak bisa memasak makanan yang lebih enak dari ini"
"akh tidak masalah bagi saya, kesederhanaan kadang lebih enak dari kemewahan" (saya berkata untuk menghilangkan rasa minder sang ibu saat tangan saya ikut tertarik menuju ke meja makan)

Malam yang sederhana di tutup dengan lantunan lagu jawa klasik yang mungkin adalah kesukaan kedua pasangan yang ditinggal merantau anaknya ini. Walau mataku terpejam tapi kegugupanku untuk hari yang belum bisa ku pastikan tidak dapat ikut terpejam, otak ku terus berputar-putar menjelajahi ketidak pastian, apakah akan begini, akan begitu, atau tidak sama sekali. Entah aku sendiri tidak mengetahui kapan otakku berhenti memikirkan ketidak-pastian itu, tapi tiba-tiba saja ada suara orang tua yang memanggilku dan sedikit menggoyang-goyangkan tubuhku.
***
"Tidur nyenyak semalam"
"Bapak, cukup nyenyak tapi sedikit terganggu dengan beberapa bintang malam"
"ha..ha..ha..ha... maklum rumah kecil jadi begitu lah keadaannya, tidak ada masalah dengan kasur kapuk ini"
"Tidak, sama sekali tidak, saya merasa nyaman, bahkan saya sempat berpikir sepertinya ini lebih baik daripada punya penginapan kemarin"
"ha...ha...ha...sampeyan bisa saja...kasur ini belum pernah diganti, paling di jemur saja biar tidak bau apek, dari Darmiwan kecil sampai besar dia menghabiskan waktu tidurnya disini"
"oh.. ini kamar anak bapak.. saya bisa pastikan anak bapak pasti teliti.. terlihat dari pernak-pernik yang tersusun rapi"
"Ya, Darmiwan tidak mau jika perabotannya kami usik, dia cukup mandiri...oh ya sampeyan tidak mau mandi, ibu baru saja merebuskan air, cuaca cukup dingin tidak seperti biasanya dan alangkah segarnya jika sampeyan mandi dengan air yang hangat"
"oohh terimah kasih pak...."

Saya merasa tidak jauh dari keluarga saya saat ini, kehangatan mereka mengalahkan hangatnya air rebusan ibu. Belum lagi ibu selalu manarikku untuk menghampiri meja makan, mereka tidak terusik dengan kedatangan ku, mereka tidak memperlakukan ku sebagai orang asing.

"Bagaimana?,, hari ini mau kemana?"
"Lebih baik bicara sehabis makan Pak.. biar Hamdani makan dulu..nanti keselek"

Ibu begitu bijaksana, bahkan aku merasakan aura ibu kandung saat beliau menyebutkan namaku. Matahari sepertinya tidak bersahabat seperti kemarin, hari ini begitu terik.
***
Awal perjalanan kami tentunya ke pusat tempat bapak menyewa mobil Kijang ini, dia harus menyetor pemasukan selama seminggu. Aku hanya duduk didalam mobil sementara bapak masuk untuk menyetor uang memang hanya 15 menit tapi sudah bertahun-tahun aku rasakan, bagaimana tidak sepertinya alamat yang kupegang ini memanggilku untuk bergegas. Kurasa wajar saja aku seperti ini karena mungkin ini bisa menjadi hari penentuan ku, apakah penantianku menbuahkan hasil.

"Pak kita mencari penginapannya nanti saja ya Pak, kita langsung saja ke sini" aku menyodorkan alamat yang membuat tanganku berkeringat itu
"Lah sampeyan ngapain cari penginapan, sduah tinggal aja di rumah bapak"
"aduh Pak saya tidak enak"
"gak apa..wes kita ke tempat itu tu yang ada di alamat situ.."

Ya...kuharap bapak bisa menginjak gas lebih dalam agar perjalanan lebih singkat. Aku tak mau hari ini sia-sia padahal kami masih mempunyai 7 jam sebelum jam 8 malam nanti. Aku sama sekali buta dengan jalanan kota yang besar ini. Entah sekarang ada dimana yang jelas saya melihat air mancur yang cukup besar di tengah jalan. Mobil Kijang yang saya tumpangi stop di depan sebuah rumah. Kupandang nomor rumahnya dengan jelas, dan mataku berpindah memandang ke kertas yang sudah mulai melembab karena terus digenggam dengan telapak tangan yang basah.

"2B...."
"iya ini 2B..."

Lalu apa yang harus ku lakukan, tetap duduk di jok dengan segala kegugupanku atau pergi kembali ke rumah Pak Satrio. Tidak aku terlihat bodoh saat ini, kaki ku seakan-akan terpaku di dalam mobil, aku pusing, pikiranku menerawang kemana-mana, aku berharap terlalu banyak, aku bingung, aku seperti anak kecil yang menunggu ayahnya pulang dari kerja di atas ayunan, bergoyang-goyang tanpa kepastian, seperti perahu kecil yang tidak memiliki kekuatan untuk menahan ombak.

"hei..."
"ah..iya Pak ..kenapa"
"apa yang sampeyan pikirkan, daritadi bapak panggil-panggil kok tidak menyahut"
"anu.................."

Rupanya bapak dari tadi memanggilku sementara otakku tidak merespon suara apapun. Aku hanya sedikit gugup, dan mungkin akan tidak gugup jika aku membuka pintu mobil.

"Pak saya coba ke sana sebentar ya...."
***
Kakiku melangkah di atas ubin-ubin merah didepan rumahnya dan akhirnya terhenti di depan kayu bergagang. Kuraba sebentar untuk menguatkan diri, kumudian kucoba mengerahkan seluruh indera penglihatanku untuk mencari sesuatu yang bisa ku tekan agar penghuni rumah menyadari keberadaanku disini.

"Ting...tong....ting...tong...ting...tong" sesekali ku mengetuk "tok...tok...tok"
"Siapa?....tunggu sebentar ya..."

Kudengar suara Merdu itu masih seperti dulu halus, dan berirama yang menunjukkan dia bukan wanita sembarangan. Gagang pintu kurasa sedikit berputar. Jantungku sepertinya semakin tidak bersahabat, kecepatannya bertambah dan hampir membuatku mati.

"Ya....."

Rambutnya yang terurai panjang dan terkibas angin membuat kulit putihnya semakin sempurna. Bibirnya yang semerah darah menarik perhatianku lebih. Kuperhatikan tubuhnya yang sintal dari atas kebawah membuat hati ku semakin kacau, kulitnya begitu putih seputih salju. Ya tidak ada yang berubah dari dirinya tahi lalat di lehernya masih seperti dulu hitam dan tidak merusak kecantikannya.

"helllooo.....apa yang kau lihat?"

Sial mungkin dia pikir aku berengsek, maniak, lelaki bejat...sial kenapa aku harus terlihat bodoh saat ini.

"kenapa kau melamun...kita lama tidak jumpa...hei"

Dia memukul pundakku kecil dan hal itu membangunkanku dari alam hayal yang membuatku terlihat bodoh.

"hai.... apa kabar?"
"kau aneh...."
"tidak..."
"kenapa tidak... kau aneh, kenapa kau gugup?"
"aku gugup... tidak mungkin itu perasaan mu"
"aku tahu siapa kau, aku melihat keringat di dahi mu dan dari dulu jika kau keringatan kau selalu gugup...."
"oh ya..."
"itu siapa?"

Dia menunjuk bapak yang kutinggalkan di dalam mobil. Aku malu, aku terlihat bodoh dengan kata-kata yang kuucapkan tadi.

"itu Pak Satrio... aku tinggal di rumahnya saat ini"
"oh ya... kapan kau datang...ayo masuk"
"oh... tidak...mh..maksudku bukan saat ini... kasihan bapak menunggu... setidaknya aku tahu rumahmu...bagaimana besok...kita jalan..."
"panggil saja Pak...Pak...."
"Satrio"
"ya maksud ku itu Pak Satrio...dia boleh masuk...karena kau mempunyai banyak PR...untuk menceritakan aku tentang banyak hal...."
"sepertinya tidak bisa...kasihan bapak sudah tua.... lagian ibu menunggu dirumah..."
"begitu...."
"ya....lalu?"
"lalu?..kenapa kau bertanya padaku?"
"maksudku.. bagaimana tawaranku tadi...besok"
"sebenarnya kau kenapa... kenapa kau icara seperti orang aneh...tidak biasanya...oke tawaranmu aku terima karena begitu banyak pertanyaan ku yang harus kau jawab"
"baiklah aku pulang dulu...."
"hati-hati ya....aku tunggu besok"

Awal yang tidak begitu mengesankan kurasa, semua karena kebodohanku. Kenapa aku harus keringatan, dan harus berbicara seperti orang yang baru belajar bicara. Aku naik ke mobil dan berharap sampai ke rumah untuk mandi dan tidur agar besok aku bisa memperbaiki kebodohanku. Aku senang walau terlihat bodoh tapi aku bisa melihat dia dan dia menerima ajakanku untuk pergi besok.


*bersambung*